me

me

Kamis, 11 April 2013

Sipenmaru POLTEKKES KEMENKES SURABAYA

Jalur PMDP 2013  http://poltekkesdepkes-sby.ac.id/sipenmaru-jalur-pmdp-poltekkes-kemenkes-surabaya-thn-2013

Jalur Ujian Tulis 2013  http://poltekkesdepkes-sby.ac.id/sipenmaru-jalur-uji-tulis-diii-div-poltekkes-kemenkes-surabaya-thn-2013

atau website selengkapnya di http://poltekkesdepkes-sby.ac.id/

Pendokumentasian SOAP ANC


KATA PENGANTAR


Puji syukur terhadap kehadiran Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufik, dan karunia serta hidayahNya sehingga kami dapat menyelasaikan pembuatan makalah Keterampila Dasar Praktik Klinik ini sebagai tugas harian.
Tak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang nama beliau telah membawa ajaran islamiyah yang membawa kita semua dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang benderang berupa addinu islam.
Dalam pembuatan makalah ini, kami tak lepas dari pihak pihak yang membantu penyelesaian makalah ni, antara lain:
1.      Ibu Netti Herlina, S.Pd., M.Kes., selaku dosen pengajar mata kuliah konsep kebidanan.
2.      Orang tua yang telah memdukung kami.
3.      Teman dan kakak – kakak seperjuangan yang telah memberi semangat untuk kami.
4.      Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebut satu persatu.
Semoga pihak pihak tersebut dimudahkan segala pengurusnnya oleh Allah SWT.
Kami menyadari bahwasannya makalah ini jauh dari kata sempurna, karena kurangnya pengalaman dan minimnya pengetahuan kami. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan kedepannya.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kitasemua, khususnya bagi kami penyusun.

                                                                             Surabaya, 17 Desember 2012
                                                                            

                                                                                     Penulis


RA Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang" dengan Kyai Sholeh Darat, Sejarah Bangsa yang Digelapkan Orientalis Belanda.


 “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”.


            Kyai Sholeh Darat merupakan guru ulama terkemuka, seperti KH Hasyim Asy`ari (Tebuireng Jombang, pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas), KHR Dahlan (Tremas), Kiai Amir (Pekalongan), Kiai Idris (Surakarta), KH Abdul Hamid (Kendal),  Kiai Khalil (Rembang), dan Kiai Penghulu  Tafsir Anom  (Kraton Surakarta). Salah satu murid Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah kyai Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Sholeh Darat (Hj. Fadhilah Sholeh), RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an.

BIOGRAFI
            Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah harus dipingit.

                Surat Curhat           
            Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, R.A. Kartini       menulis:
                        Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

            RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

                        Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.     
     
                Bertemu Kyai Sholeh Darat           
            Jika membaca surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang sudah diedit & dalam pengawasan Abendanon yang notabene adalah aparat pemerintah kolonial Belanda & Orientalis. Dalam surat, beliau tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat atau Kyai Sholeh Darat, Semarang. Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah ini. ketika berkunjung ke rumah pamannya, Bupati Demak, Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah, Kartini tertegun. karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

               “Romo Guru yang mulia!” Kartini membuka maksud. “Selama hidup saya, barulah kali ini ananda sempat mengerti makna surat al-Fatihah, induk al-Qur’an itu. Begitu besar rasa syukur ananda kepada Allah Swt. Namun sayang Romo Guru, ananda tak habis pikir, mengapa selama ini kita belum menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Jawa? Bukankah al-Qur’an merupakan petunjuk bagi segenap manusia?”Kartini menarik nafas dalam-dalam.
               “Teruskan anakku!”. Pancing Kyai Sholeh.
               “Jadi, hemat saya, orang-orang Jawa seperti saya perlu mengerti dan memahami isi kitab suci itu, terutama melalui jalan Eyang Romo Guru terangkan dalam pengajian tadi. Apalagi Ramanda saya ikut bersyukur atas minat Amanda mendalami al-Qur’an. “
               “Baiklah! Apakah ada pertanyaan lagi, wahai anakku?”. Kyai Sholeh masih menangkap gurat kegelisahan pada wajah Kartini.
               “Begini Romo Guru. Khusus tentang penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an dalam bahasa Jawa itu, apakah ada syarat-syarat bagi orang yang dianggap cukup sebagai ahli di bidang tersebut?”.
               “Sungguh, anakku Kartini!. Tidak sedikit bilangannya. Syarat-syaratnya sungguh berat. Antara lain, orangnya harus menguasai Bahasa Arab yang khas dengan al-Qur’an lengkap dengan nahwu, sharaf, badi’, ma’ani, bayan, balaghah, isti’arah, lengkap dengan keilmuan lainnya”. Terang Kyai Sholeh Darat sambil tersenyum.
               “Tapi Romo Guru sudah ahli dan menguasai ilmu-ilmu itu? Maka sekarang ananda mohon sudi kiranya Romo Guru berkenan segera menulis untuk bangsa kita pada umumnya berupa kitab terjemah dan tafsir al-Qur’an dalam Bahasa Jawa. Sebab hal itu akan menjadikan mereka memahami bisikan suci dari kitab tuntunan hidup mereka. Dan Romo Guru akan besar sekali jasanya”.

               Habis “Gelap” Terbitlah “Terang”                                    
            Dalam pertemuan itu Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan, menurutnya  tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.  Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an.  Kyai Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir & terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.  Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:

Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”
{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.
            Melalui terjemahan kyai Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu: “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” (Q.S. al-Baqoroh: 257).
            Dalam banyak suratnya kepada Abendanon,  Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya. 
            Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Kyai Sholeh Darat keburu wafat. Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon :
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan”.
            Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; 
“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”
            Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.
            Sumber :
            http://www.sarkub.com