me

me

Senin, 07 April 2014

Analisis Gender mata kuliah askeb komunitas

Kerangka Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks)
Jonatan A. Lassa


Sudah banyak kritik bahwa gender planning dalam kerja-kerja rekonstruksi di Aceh merupakan hal yang mendapatkan perhatian kurang. Kritik ini tidak selalu ditanggapi secara serius karena memang sudah banyak lembaga mencoba untuk melakukan pengarus utamaan gender dalam level proyek dan program mereka, berdasarkan gender analisis versi tiap lembaga. Di samping itu, ada ratusan alat gender analisis dan gender planning. Mana yang terbaik?

Tentu pula, sudah banyak training berjudul “gender training” level dasar yang diberikan dari dan untuk pegiat kemanusian terutama LSM/NGOs/CSOs. Namun tidak banyak training bagaimana melakukan pengarusutamaan gender dalam proyek dan program. Langkah pertama pengarus utamaan gender adalah gender analisis (WHO, 2002: 2). Bukan hal yang mudah bila sebuah lembaga atau staf pekerja kemanusiaan untuk rekonstruksi tidak memiliki alat analisis gender planning yang baik. Oleh karena itu, ringkasan alat analisis gender ini ditulis secara sederhana dalam bahasa Indonesia dan ditujukan lebih pada para perencana proyek dan program pada level komunitas (mikro), maupun makro.

Kerangka analisis perencanaan gender atau disingkat kerangka analisis gender merupakan upaya untuk menerjemahkan ide-ide dari analisis gender yang “akademis” serta “konseptual” ke dalam kerja-kerja dan panduan untuk para praktisi LSM, pekerja-pekerja pembangunan, relief dan dalam konteks Aceh saat ini adalah perencanaan rekonstruksi Aceh.  

Kerangka-kerangka ini digunakan untuk memperkenalkan secara singkat konsep gender bagi mereka yang ‘awam’ dengan issu perempuan/gender dalam pembangunan, dengan menekankan bahwa gender adalah isu pembangunan dan bahwa pembangunan tidak bebas nilai sehingga potensial menindas gender tertentu. Tidak dimaksudkan untuk terjebak dalam berpikir secara “mengisi matrix” semata dan terkotak-kotak, tetapi memberikan dasar-dasar analisis gender.

Di samping itu, kegunaan lain adalah bisa dijadikan dasar kebijakan gender (gender policy) pada institusi-institusi seperti masyarakat sipil, LSM, CBOs, NGOs, BRA, pemerintahan dan sebagainya. Umumnya, kerangka analisis gender yang berbeda digunakan untuk saling melengkapi demi menjawabi kebutuhan kebijakan lembaga dan pembangunan kembali masyarakat Aceh.

Ada banyak model yang sering digunakan tetapi yang akan diperkenalkan di sini adalah 4 jenis alat analisis yang berbeda satu sama lain, yakni Kerangka Harvard, Moser, Longway dan Kerangka Relasi Sosialnya Naila Kabeer.[3]

Tujuan utama paper singkat ini adalah utuk memperlengkapi,teman-teman di Aceh, tentunya tidak tertutup bagi mitra-mitra Hivos, supaya bersama-sama memiliki pemahaman gender secara umum dalam kerja-kerja mereka. Tidak ada tendensi di sini untuk mengatakan mana yang paling benar, tetapi diharapkan pengguna (users) bisa memilih sendiri alat analisis yang disajikan berikut, lebih cocok dalam kerja-kerja mereka. Walaupun, preferensi Penulis adalah pada model yang dikembangkan Longwe dan Kabeer.

I.                   Harvard Framework (Kerangka Harvard).

Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja gender (division of labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat control atas sumberdaya yang kelihatan. 

Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan data detail bagi perencanaan gender. Implikasi perencanaan program terhadap gender perempuan adalah diperlukan analisis yang menutupi bolong (gaps) pada level beban kerja, pengambilan keputusan dsb antara perempuan dan laki-laki.

Tiga data set utama yang diperlukan:
  1. Siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan berapa banyak alokasi waktu yang diperlukan? Hal ini dikenal sebagai “Profil Aktifitas”.
  2. Siapa yang memiliki akses dan kontrol (seperti pembuatan kebijakan) atas sumber daya tertentu? Hal ini kerap dikenal dengan “Profil Akses dan Kontrol” Siapa yang memeliki akses dan kontrol atas “benefit” seperti produksi pangan, uang dsb?
  3. Faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam pembagian kerja berbasis gender, serta akses dan kontrol yang ada pada “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.

Tujuan dari alat analisis ini adalah:
  • Membedah alokasi sumberdaya ekonomis terhadap laki-laki dan perempuan
  • Membantu perencana proyek untuk lebih efisien dan meningkatan produtifitas secara keseluruhan

 Tabel 1. Alat Profil Aktifitas
Aktifitas
Perempuan
Laki-laki
Aktifitas produksi
·         Pertanian
·         Livelihood
·         Pekerjaan
·         Peternakan
·         Perikanan
·         Dsb


Aktifitas reproduksi
·         Mengambil air
·         Pemenuhan energi KK
·         Penyiapan makanan
·         Menjaga anak
·         Kesehatan
·         Membersihkan rumah
·         Memperbaiki rumah
·         Belanja/jual di/ke Pasar



Catatan: Parameter lainnya perlu juga dilihat namun bergantung dari konteks:
·         Gender dan dominasi umur: indetifikasi yang lebih jelas soal perempuan dewasa, laki-laki dewasa, anak-anak, dan/atau orang tua yang melakukan aktifitas tertentu
·         Alokasi waktu: perlu dihitung prosentasi alokasi waktu untuk tiap aktifitas dan apakah dilakukan secara harian atau kadang-kadang?
·         Lokus aktifitas: perlu dilihat secara jeli di mana suatu kegiatan dilakukan supaya bisa melihat peta mobilitas penduduk.

Tabel 2. Profil Akses dan Kontrol atas sumber daya dan benefit

Akses
Kontrol
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Sumber daya
·         Tanah
·         Alat produksi
·         Tenaga kerja
·         Cash/uang
·         Pendidikan
·         Pelatihan
·         Tabungan
·         Dll




Benefit
·         Aset kepemilikan
·         Non pendapatan
·         Kebutuhan dasar
·         Pendidikan
·         Kekuasaan politis
·         dll










Tabel 3. Faktor saling pengaruh antara “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.
Faktor Pengaruh
Hambatan (constraints)
Kesempatan (opportunities)
Norma-norma dan hierarki sosial


Faktor demografi


Struktur kelembagaan


Faktor ekonomi


Faktor politik


Parameter hukum


Training


Sikap komunitas terhadap pihak luar spt LSM?


Dll



Kekuatan/keutamaan dari Kerangka Harvard:
·         Praktis dan mudah digunakan khususnya pada analisis mikro yakni level komunitas dan keluarga
·         Berguna untuk baseline informasi yang detail
·         Fokus pada hal-hal yang kasat mata, fakta objektif, fokus pada perbedaan gender dan bukan pada kesenjangan
·         Gampang dikomunikasikan pada pemula/awam


Keterbatasan:
·         Tidak ada fokus pada dinamika relasi kuasa dan kesenjangan (inequality)
·         Tidak efektif untuk sumberdaya yang tidak kasat mata seperti jaringan sosial dan sosial kapital
·         Terlalu menyederhanakan relasi gender yang kompleks, kehilangan aspek negosiasi, tawar-menawar dan pembagian peran.


II.                Kerangka Moser (The Gender Roles Framework)

Dikenal juga sebagai “the University College-London Department of Planning Unit (DPU) Framework”. Secara singkat, kerangka ini menawarkan pembedaan antara kebutuhan praktis dan strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan berfokus pada beban kerja perempuan. Uniknya, ia tidak berfokus pada kelembaggan tertentu tetapi lebih berfokus pada rumah tangga.

Tiga konsep utama dari kerangka ini adalah:
  1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif dan kerja komunitas. Ini berguna untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja
  2. Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi status dan posisi perempuan (spt subordinasi).
  3. Pendekatan analisis kebijakan – dari fokus pada kesejahteraan (welfare), Kesamaan (equity), anti kemiskinan, effisiensi dan pemberdayaan atau dari WID ke GAD.

Tabel 4: Tiga alat utama Kerangka Moser
Alat 1: Peran lipat tiga (triple roles) Perempuan
A. Kerja reproduksi perempuan

B. Kerja Produktif

C. Kerja komunitas
Alat 2: Gender need assessment
A. Kebutuhan/kepentingan praktis

B. Kebutuhan/kepentingan strategis
Alat 3: Gender Disaggregated data  - intra-household

Siapa mengotrol apa dan siapa yang memiliki kekuasaan atas pengambilan keputusan?

Kekuatan/Keutamaan Kerangka Moser:
·         Mampu melihat kesenjangan perempuan dan laki-laki
·         Penekanan pada seluruh aspek kerja di mana membuat peranan ganda perempuan terlihat
·         Menekankan dan mempertanyakan asumsi dibalik proyek-2 intervensi
·         Penekanan pada perbedaan antara memenuhi kebutuhan dasar-praktis dengan kebutuhan strategis

Keterbatasan/Kelemahan Kerangka Moser:
·         Fokus pada perempuan dan laki-laki dan tidak pada relasi sosial
·         Tidak menekanakan aspek lain dari kesenjangan spt akses atas sumber daya
·         Jika ditanyakan, perempuan akan mengidentifikasikan kebutuhan praktisnya. Menemukan ukuran-2 kebutuhan strategis sulit. Perubahan strategis adalah sebuah proses yang kompleks dan kontradiktif. Dalam prakteknya, sesuatu yang praktis dan strategis berkaitan erat.
·         Pendekatan kebijakan yang berbeda-2 bercampur dalam prakteknya
·         Kerja secara efektif lebih berfungsi sebagai alat analisis intervensi ketimbang perencanaan.


Table 5. Perkembangan Pendekatan Kebijakan Gender (dari Moser 1989)
Pendekatan kebijakan
Tujuan
Implementasi
Asumsi
Kesejahteraan (Welfare) 1950-1970, masih digunakan
Melibatkan perempuan dalam kegiatan pembangunan semata-mata sebagai “ibu yang lebih baik” dan ibu rumah tangga
Proyek-2 kesejahteraan social focus pada bantuan pangan, nutrisi spt. Ketrampilan masak yang lebih tinggi, dan proyek-2 KB
-Perempuan dilihat sebagai penyebab ketertinggalan
-peran pasif perempuan dalam penelitian pertanian, SDA dan pembangunan
-Tidak ada kaitan antara perempuan, gender dan isu strategis spt nutrisi, kesehatan dan pangan
Kesamaan (Equity)
1975-1985, sangat dipromosikan pada konferensi perempuan I
-upaya mensejajarkan perempuan dalam pembangunan
-mempromosikan perempuan sebagai peserta aktif dalam pembangunan
-menjawab masalah subordinasi perempuan dalam pembangunan
Asalinya dikenal dengan istilah ”Perempuan dalam pembangunan – WID/Women in Development” yang dipromosikan pada permulaan dekade Perempuan PBB dan ”Nairobi Forward Looking Strategies”
-pengakuan atas ”triple roles” perempuan dalam pembangunan pada ranah rumah tangga, ekonomi dan komunitas
-pengakuan bahwa perempuan memiliki hak-hak dasar tapi juga kebutuhan strategis
-penelitian pertanian dan SDA mulai mengakui peran lipat tiga dan kebutuhan strategis perempuan dalam pembangunan
-perempuan mulai dilihat sebagai korban pembangunan
Anti Kemiskinan
1970an
-untuk meningkatakan produktifitas perempuan miskin
-pengentasan kemiskinan melalui peningkatan produksi
Proyek-2 WID berubah fokus pada proyek-2 income generating  (IGA) skala kecil, proyek-2 kerajinan tangan adalah tipikal “proyek perempuan”
-Prioritas utama pada kerentanan dan marginalisasi ekonomi perempuan
-penelitian-2 pertanian dan pembangunan mulai konsentrasi pada IGA perempuan tapi belum melihat kepentingan strategis perempuan
Effisiensi
1980an
-mengentaskan kemiskinan dengan meningkatkan efisiensi dalam penelitian dan pembangunan
-meningkatkan partisipasi perempuan dalam penelitian dan pembangunan
-Proyek-2 WID berfokus pada proyek-2 sektoral seperti perempuan dan kehutanan, perempuan dan perikanan dsb.
-proyek-2 pembangunan masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar perempuan
-beberapa proyek mulai mengadopsi perspektif gender ketimbang berbicara semata tentang perempuan
-Perempuan diakui produktif dalam pertanian dan management SDA.
-perempuan dilihat sebagai solusi terhadap pembangunan; waktu mereka dilihat sebagai elastis
-relasi gender sebagai relasi kuasa belum dikenali
-Pengarusutamaan isu perempuan dan gender dalam pembangunan untuk efisiensi sumber daya proyek
Pemberdayaan
Akhir 1980an
-pemberdayaan perempuan melalui hak yang lebih besar untuk menentukan nasip sendiri
-sub-ordinasi sebagai akibat dari penindasan laki-2 tapi juga sistim yang meninda laki-2 terlebih perempuan
Gender dan pembangunan (GAD-gender and development) berfokus pada kebutuhan dasar dan strategis dan kerap dipisahkan.
-pengakuan bahwa walaupun fokus pada peran perempuan adalah penting, namun relasi dengan laki-2 dan seluruh sistim politik dan ekonomi adalah sangat penting
-Perempuan sebagai agen pembangunan dan agenda kolektif perempuan adalah penting
-Perlu dikaji ulang penelitian dan pembangunan


III.             Longwe Framework – Kerangka Kerja ”Pemberdayaan”

Kerangka Longwe berfokus langsung pada penciptaan situasi/pengkondisian di mana masalah kesenjangan, diskriminasi dan subordinasi diselesaikan. Longwe menciptakan jalan untuk mencapai tingkat pemberdayaan dan kesederajatan (equality) di mana ditunjukan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar-praktis perempuan tidak pernah sama dengan, pemberdayaan maupun sederajat (equal). Pengambilan keputusan (kontrol) merupakan puncak dari pemberdayaan dan kesederajatan (equality). Table 4 memberikan gambaran jelas mengenai hal ini.

Dalam assessment proyek, kerangka Longwe bisa diturunkan menjadi dua alat:

1.      Level kesederajatan (Equality level)
Tujuan utama alat ini adalah untuk menilai apakah sebuah proyek/program intervensi pembangunan mampu mempromosikan kesederajatan dan pemberdayaan perempuan atau tidak.

Asumsi dasar dibalik alat ini adalah bahwa titik tercapainya kesederajatan (equality) antara perempuan dan laki-laki mengindikasikan level pemberdayaan perempuan. Ada lima level dalam aras kesederajatan dan pemberdayaan yang perlu dicermati:

Bentuk ini, menurut saya, seolah mengikuti alur pikirnya Abraham Maslow tentang teori hierarki of human needs, dengan meletakan kebutuhan dasar-praktikal pada titik yang paling bawah dan kebutuhan ”aktualisasi diri” sebagai kebutuhan tertinggi diterjemahkan sebagai ”kontrol dan decision making”. Tentunya, ilustrasi ini memiliki kelemahan dan terkesan dipaksakan.

Tabel 6. Level kesederajatan dan pemberdayaan


Equality
Pemberdayaan
Perempuan
Laki-laki
perempuan
Laki-laki
Kontrol (decision Making)














Partisipasi

Kesadaran Kritis (conscienticicao)
Akses

Welfare (kebutuhan dasar-praktis)

Anak panah di atas menunjukan arah peningkatan menuju pemberdayaan dan equality.

2.      Isu Spesifik Perempuan – dengan tujuan pada pengenalan akan kebutuhan spesifik perempuan.
Asumsi utamanya adalah bahwa semua isu perempuan berkaitan dengan equality dalm peran sosial dan ekonomis. Tiga level pengenalan atas isu perempuan di dalam proyek adalah NEGATIF, NETRAL & POSITIF.


IV.             Kerangka Analisis ”Relasi Sosial”
Kerangka “relasi social” ini awalnya dikemukakan oleh Naila Kabeer yang sebelumnya adalah pengajar pada Institute of Development Studies, Sussex, UK. (Lihat Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development, Verso, 1994).
Tujuan dari kerangka ini adalah untuk:
·         Menganalisis ketimpangan gender yang ada di dalam distribusi sumber daya, tanggung jawab dan kekuasaan.
·         Menganalisis relasi antara orang, relasi mereka dengan sumber daya, aktifitas dan bagaimana posisi mereka melailui lensa kelembagaan.
·         Menekankan kesejahteraan manusia (human well-being) sebagai tujuan utama dalam pembangunan 
Kerangka ini didasarkan pad aide bahwa tujuan pembangunan adalah pada kesejahteraan manusia (human well-being), yang terdiri atas survival, security dan otonomi. Produksi dilihat bukan hanya relasinya terhadap pasar, tetapi juga reproduksi tenaga kerja, kegiatan subsistent, dan kepedulian lingkungan hidup.
Kemiskinan dilihat sebagai relasi social yang tidak seimbang, yang dihasilkan oleh ketidak seimbangan distrubusi sumber daya, klaim, dan tanggun jawab.  Relasi gender adalah salah satu tipe relasi social. Relasi social bukanlah sesuatu yang kaku dan kekal. Mereka dapat dan berubah melalui faktor-faktor seperti perubahan makro atau agen manusia. Relasi social termasuk sumber daya yang dimiliki orang. Perempuan miskin kerap dikeluarkan dari akses dan kempemilikan atas sumber daya dan bergantung pada hubungan patron dan ketergantungan. Pembangunan dapat menolong si miskin untuk membangun solidaritas, reciprocity and otomomi dalam akses terhadap sumber daya
Kelembagaaan menjamin produksi, memperkuat dan reproduksi relasi social, dank arena itu perbedaan social dan kesenjangan. Ketimpangan gender di reproduksi bukan hanay di level KK, tapi melalui sekelompok kelembaggaan termasuk komunitas internasional, negara dan pasar. Kelembagaan didefinisikan sebagai kerangka yang nyata atas aturan main organsasi sebagai bentuk structural khusus
Oleh karena itu analisis gender mengandung pengertian atau pemahaman untuk melihat pada bagaimana kelembagaan menciptakan dan mereproduksi ketidak seimbangan dan ketimpangan. Ada empat ranah kelembaggan utama yakni negara, pasar, komunitas dan keluarga.
 

Table 7. Ranah Kelembagaan
Ranah Kelembagaan
Bentuk organisasi/struktur
Negara
Lembaga hukum, administrasi, militer, GAM dsb
Pasar
Perusaan, tukang kredit, industri pertanian, multi nasionanl dsb.,
Komunitas
Lembaga nonformal gampong, organisasi desa, PKK, jaringan informal, relasi patron-client, NGOs, panglima Laot dsb.
Keluarga-kekerabatan
Rumah tangga, garis keturunan, keluarga household, extended families, lineage groupings
Lima dimensi relasi social kelembagaan yang relevan dengan gender analisis:
  • Aturan (Rules), atau bagaimana aturan main yang terjadi; apakah memperkuat atau menghambat? Aturan tertulis atau tidak (informal)
  • Aktifitas (Activities), yakni siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, siapa berhak mengklaim atas apa. Aktifitas bisa saja yang bersifat produktif, regulative, dan distributive. 
  • Sumber daya, yakni yang yang digunakan, apa yang diproduksikan, termasuk input sdm (tenaga kerja, pendidikan),  material (pangan, capital aset, dan sebagainya), ataupun yang tidak kelihatan seperti kehendak baik, informasi dan jaringan. 
  • Orang (People), yakni siapa yang terlibat, siapa yang pergi, siapa melakukan apa? Kelembagaan relative selektif dalam masukan atau mengeluarkan orang, menugaskan mereka pada sumber daya dan tanggung jawab, memposisikan mereka dalam hierarkis dsb.
  • Kekuatan (Power), yakni siapa mengontrol, memutuskan dan kepentingan siapa yang dilayani. 
Analisis kelembagaan ini menyingkapkan beta gender dan berbagai jenis kesenjangan/ketimpangan diproduksi dan direproduksi ulang.

Naila Kabeer mengkalsifikasikan kebijakan pembangunan sebagai berikut:
Gender-blind (Buta gender)
  • Tidak membedakan perbedaan perempuan dan laki-laki 
  • Terjebak ‘built in” 
  • Cenderung mengeluarkan perempuan 
Sadar gender (Gender-aware)
  • Mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan perempuan dan laki-laki 



Tabel 8. Kebijakan sensitive gender ada tiga jenis: 
gender-neutral
·      dalam terang perbedaan gender, targeting layanan kebutuhan praktis perempuan  dan laki-laki
·      Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian kerja atas sumber daya dan tanggung jawab berbasi gender 
gender-specific
·      dalam terang perbedaan gender, merespon kebutuhan praktis perempuan dan laki-laki secara spesifik
·      Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian kerja atas sumber daya dan tanggung jawab berbasis gender 
gender redistributive
·      Dimaksudkan untuk transformasi relasi gender yang ada untuk menciptakan keseimbagan relasi. 
·      Menargetkan secara spesifik perempuan dan laki-laki
·      Bekerja untuk kebutuhan praktis gender secara transformative
·      Bekerja untuk kebutuhan strategis gender 

Kerangka analisisi relasi social menekankan pada akar masalah ketimpangan gender dengan memetakan secara jelas apa sebab langsung (immediate), faktor kontributif (underlying) dan yang bersifat structural.
Lihat table 7.

Table 7.
 
Analisis Akar Masalah Gender – Pada Berbagai Aras

Dampak jangka panjang

Dampak jangka menengah (Intermediate)/underlying causes

Dampak Langsung (Immediate)

Masalah Utama

Dampak Langsung  di level:
·         Rumah tangga
·         Komunitas
·         Pasar
·         Negara

Dampak jangka menengah (Intermediate)/underlying causes
·         Rumah tangga
·         Komunitas
·         Pasar
·         Negara

·         Rumah tangga
·         Komunitas
·         Pasar
·         Negara




Kekuatan:
  • Melihat kemiskinan bukan semata sebagai deprivasi material tetapi pada marginalisasi social
  • Mengkonsepkan gender sebagai pusat dari pembangunan dan bukan terpisah
  • Menghubungkan analisis makro dan mikro.   
  • Membuat interaksi antara berbagai bentuk kesenjangan berbasis kelas, gender dan ras
  • Memusatkan analisis pada kelembangaan dan memberikan inspirasi pada aspek politik kelembagaan.  
  • Dinamis karena berupaya membongkar proses-proses pemiskinan dan pemberdayaan
  • Bisa digunakan pada proyek level ataupun perencanaan kebijakan pada berbagai level.
Kelemahan
·                     Karena lebih kompleks, analisis gender jadi bisa tenggelam dalam konteks yang lebih luas.
V. Selected Referensi
WHO (2002) Gender Gender analysis in health: A Review of Selected Tools.
March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. 2.
March C. (1996) A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996.
Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website http://www.undp.org/gender

Kabeer, N. (1994) Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development 1994

Sumber-sumber di Internet:

Eldis


Bridge

Genie

Siyanda

UNDP

ILO

DFID GEM




[1] Paper ini ditujukan tidak terbatas pada mitra-mitra Hivos, tetapi bagi semua pihak yang merasa membutuhkan untuk mengarusutamakan Gender dalam perencanaan proyek-proyek rehabilitasi di Aceh. Paper ini  disarikan dari berbagai sumber-sumber berbahasa Inggris yang dipakai Penulis yakni: 1. March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. 2. March C. A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996. 3. Bahan Kulian Gender & Rural Livelihood, Fall Term 2004, The University of East Anglia, UK.
[2] Saat ini bekerja sebagai Coordinator Program, HIVOS.
[3] Untuk mengetahui lebih jauh, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah berkunjung di blog ini ^_^