Kerangka
Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks)
Jonatan A. Lassa
Sudah banyak kritik bahwa gender planning dalam kerja-kerja
rekonstruksi di Aceh merupakan hal yang mendapatkan perhatian kurang. Kritik
ini tidak selalu ditanggapi secara serius karena memang sudah banyak lembaga
mencoba untuk melakukan pengarus utamaan gender dalam level proyek dan program
mereka, berdasarkan gender analisis versi tiap lembaga. Di samping itu, ada ratusan alat gender analisis
dan gender planning. Mana yang terbaik?
Tentu pula, sudah
banyak training berjudul “gender training” level dasar yang diberikan dari dan
untuk pegiat kemanusian terutama LSM/NGOs/CSOs. Namun tidak banyak training
bagaimana melakukan pengarusutamaan gender dalam proyek dan program. Langkah
pertama pengarus utamaan gender adalah gender analisis (WHO, 2002: 2). Bukan
hal yang mudah bila sebuah lembaga atau staf pekerja kemanusiaan untuk
rekonstruksi tidak memiliki alat analisis gender planning yang baik. Oleh
karena itu, ringkasan alat analisis gender ini ditulis secara sederhana dalam
bahasa Indonesia dan ditujukan lebih pada para perencana proyek dan program
pada level komunitas (mikro), maupun makro.
Kerangka analisis
perencanaan gender atau disingkat kerangka analisis gender merupakan upaya
untuk menerjemahkan ide-ide dari analisis gender yang “akademis” serta
“konseptual” ke dalam kerja-kerja dan panduan untuk para praktisi LSM,
pekerja-pekerja pembangunan, relief dan dalam konteks Aceh saat ini adalah
perencanaan rekonstruksi Aceh.
Kerangka-kerangka ini digunakan untuk
memperkenalkan secara singkat konsep gender bagi mereka yang ‘awam’ dengan issu
perempuan/gender dalam pembangunan, dengan menekankan bahwa gender adalah isu
pembangunan dan bahwa pembangunan tidak bebas nilai sehingga potensial menindas
gender tertentu. Tidak dimaksudkan untuk terjebak dalam berpikir secara
“mengisi matrix” semata dan terkotak-kotak, tetapi memberikan dasar-dasar
analisis gender.
Di samping itu, kegunaan lain adalah bisa
dijadikan dasar kebijakan gender (gender policy) pada institusi-institusi
seperti masyarakat sipil, LSM, CBOs, NGOs, BRA, pemerintahan dan sebagainya.
Umumnya, kerangka analisis gender yang berbeda digunakan untuk saling
melengkapi demi menjawabi kebutuhan kebijakan lembaga dan pembangunan kembali
masyarakat Aceh.
Tujuan utama paper singkat ini adalah utuk
memperlengkapi,teman-teman di Aceh, tentunya tidak tertutup bagi mitra-mitra
Hivos, supaya bersama-sama memiliki pemahaman gender secara umum dalam
kerja-kerja mereka. Tidak ada tendensi di sini untuk mengatakan mana yang
paling benar, tetapi diharapkan pengguna (users) bisa memilih sendiri alat analisis
yang disajikan berikut, lebih cocok dalam kerja-kerja mereka. Walaupun,
preferensi Penulis adalah pada model yang dikembangkan Longwe dan Kabeer.
I.
Harvard Framework (Kerangka Harvard).
Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja
gender (division of labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat control
atas sumberdaya yang kelihatan.
Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan
data detail bagi perencanaan gender. Implikasi perencanaan program terhadap
gender perempuan adalah diperlukan analisis yang menutupi bolong (gaps) pada
level beban kerja, pengambilan keputusan dsb antara perempuan dan laki-laki.
Tiga data set utama
yang diperlukan:
- Siapa melakukan apa, kapan, di mana,
dan berapa banyak alokasi waktu yang diperlukan? Hal ini dikenal sebagai
“Profil Aktifitas”.
- Siapa yang memiliki akses dan kontrol
(seperti pembuatan kebijakan) atas sumber daya tertentu? Hal ini kerap
dikenal dengan “Profil Akses dan Kontrol” Siapa yang memeliki akses dan
kontrol atas “benefit” seperti produksi pangan, uang dsb?
- Faktor yang mempengaruhi perbedaan
dalam pembagian kerja berbasis gender, serta akses dan kontrol yang ada
pada “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.
Tujuan dari alat
analisis ini adalah:
- Membedah alokasi sumberdaya ekonomis
terhadap laki-laki dan perempuan
- Membantu perencana proyek untuk lebih
efisien dan meningkatan produtifitas secara keseluruhan
Tabel 1. Alat Profil Aktifitas
Aktifitas
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
Aktifitas
produksi
·
Pertanian
·
Livelihood
·
Pekerjaan
·
Peternakan
·
Perikanan
·
Dsb
|
|
|
Aktifitas
reproduksi
·
Mengambil
air
·
Pemenuhan
energi KK
·
Penyiapan
makanan
·
Menjaga
anak
·
Kesehatan
·
Membersihkan
rumah
·
Memperbaiki
rumah
·
Belanja/jual
di/ke Pasar
|
|
|
Catatan:
Parameter lainnya perlu juga dilihat namun bergantung dari konteks:
·
Gender
dan dominasi umur: indetifikasi yang lebih jelas soal perempuan dewasa,
laki-laki dewasa, anak-anak, dan/atau orang tua yang melakukan aktifitas
tertentu
·
Alokasi
waktu: perlu dihitung prosentasi alokasi waktu untuk tiap aktifitas dan apakah
dilakukan secara harian atau kadang-kadang?
·
Lokus
aktifitas: perlu dilihat secara jeli di mana suatu kegiatan dilakukan supaya
bisa melihat peta mobilitas penduduk.
Tabel 2. Profil
Akses dan Kontrol atas sumber daya dan benefit
|
Akses
|
Kontrol
|
||
Perempuan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
|
Sumber daya
·
Tanah
·
Alat produksi
·
Tenaga kerja
·
Cash/uang
·
Pendidikan
·
Pelatihan
·
Tabungan
·
Dll
|
|
|
|
|
Benefit
·
Aset kepemilikan
·
Non pendapatan
·
Kebutuhan dasar
·
Pendidikan
·
Kekuasaan politis
·
dll
|
|
|
|
|
Tabel 3. Faktor
saling pengaruh antara “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.
Faktor Pengaruh
|
Hambatan
(constraints)
|
Kesempatan
(opportunities)
|
Norma-norma dan
hierarki sosial
|
|
|
Faktor
demografi
|
|
|
Struktur
kelembagaan
|
|
|
Faktor ekonomi
|
|
|
Faktor politik
|
|
|
Parameter hukum
|
|
|
Training
|
|
|
Sikap komunitas
terhadap pihak luar spt LSM?
|
|
|
Dll
|
|
|
Kekuatan/keutamaan
dari Kerangka Harvard:
·
Praktis
dan mudah digunakan khususnya pada analisis mikro yakni level komunitas dan
keluarga
·
Berguna
untuk baseline informasi yang detail
·
Fokus
pada hal-hal yang kasat mata, fakta objektif, fokus pada perbedaan gender dan
bukan pada kesenjangan
·
Gampang
dikomunikasikan pada pemula/awam
Keterbatasan:
·
Tidak
ada fokus pada dinamika relasi kuasa dan kesenjangan (inequality)
·
Tidak
efektif untuk sumberdaya yang tidak kasat mata seperti jaringan sosial dan
sosial kapital
·
Terlalu
menyederhanakan relasi gender yang kompleks, kehilangan aspek negosiasi,
tawar-menawar dan pembagian peran.
II.
Kerangka Moser (The Gender
Roles Framework)
Dikenal juga sebagai “the University College-London
Department of Planning Unit (DPU) Framework”. Secara
singkat, kerangka ini menawarkan pembedaan antara kebutuhan praktis dan
strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan berfokus pada beban
kerja perempuan. Uniknya, ia tidak berfokus pada kelembaggan tertentu tetapi
lebih berfokus pada rumah tangga.
Tiga konsep utama dari kerangka ini adalah:
- Peran lipat tiga (triple roles)
perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif dan kerja
komunitas. Ini berguna untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi
kerja
- Berupaya untuk membedakan antara
kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan
laki-laki. Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan transformasi
status dan posisi perempuan (spt subordinasi).
- Pendekatan analisis kebijakan – dari fokus
pada kesejahteraan (welfare), Kesamaan (equity), anti kemiskinan, effisiensi
dan pemberdayaan atau dari WID ke GAD.
Tabel 4: Tiga
alat utama Kerangka Moser
Alat 1: Peran
lipat tiga (triple roles) Perempuan
|
A. Kerja reproduksi perempuan
|
|
B. Kerja Produktif
|
|
C. Kerja komunitas
|
Alat 2: Gender need assessment
|
A. Kebutuhan/kepentingan praktis
|
|
B. Kebutuhan/kepentingan strategis
|
Alat 3: Gender Disaggregated data
- intra-household
|
Siapa mengotrol apa dan siapa yang
memiliki kekuasaan atas pengambilan keputusan?
|
Kekuatan/Keutamaan
Kerangka Moser:
·
Mampu
melihat kesenjangan perempuan dan laki-laki
·
Penekanan
pada seluruh aspek kerja di mana membuat peranan ganda perempuan terlihat
·
Menekankan
dan mempertanyakan asumsi dibalik proyek-2 intervensi
·
Penekanan
pada perbedaan antara memenuhi kebutuhan dasar-praktis dengan kebutuhan
strategis
Keterbatasan/Kelemahan
Kerangka Moser:
·
Fokus
pada perempuan dan laki-laki dan tidak pada relasi sosial
·
Tidak
menekanakan aspek lain dari kesenjangan spt akses atas sumber daya
·
Jika
ditanyakan, perempuan akan mengidentifikasikan kebutuhan praktisnya. Menemukan
ukuran-2 kebutuhan strategis sulit. Perubahan strategis adalah sebuah proses
yang kompleks dan kontradiktif. Dalam prakteknya, sesuatu yang praktis dan
strategis berkaitan erat.
·
Pendekatan
kebijakan yang berbeda-2 bercampur dalam prakteknya
·
Kerja
secara efektif lebih berfungsi sebagai alat analisis intervensi ketimbang
perencanaan.
Table 5.
Perkembangan Pendekatan Kebijakan Gender (dari Moser 1989)
Pendekatan
kebijakan
|
Tujuan
|
Implementasi
|
Asumsi
|
Kesejahteraan
(Welfare) 1950-1970, masih digunakan
|
Melibatkan
perempuan dalam kegiatan pembangunan semata-mata sebagai “ibu yang lebih
baik” dan ibu rumah tangga
|
Proyek-2
kesejahteraan social focus pada bantuan pangan, nutrisi spt. Ketrampilan
masak yang lebih tinggi, dan proyek-2 KB
|
-Perempuan
dilihat sebagai penyebab ketertinggalan
-peran pasif
perempuan dalam penelitian pertanian, SDA dan pembangunan
-Tidak ada kaitan
antara perempuan, gender dan isu strategis spt nutrisi, kesehatan dan pangan
|
Kesamaan (Equity)
1975-1985, sangat dipromosikan pada konferensi perempuan I
|
-upaya mensejajarkan perempuan dalam pembangunan
-mempromosikan perempuan sebagai peserta aktif dalam pembangunan
-menjawab masalah subordinasi perempuan dalam pembangunan
|
Asalinya dikenal dengan istilah ”Perempuan dalam pembangunan – WID/Women
in Development” yang dipromosikan pada permulaan dekade Perempuan PBB dan
”Nairobi Forward Looking Strategies”
|
-pengakuan atas ”triple roles” perempuan dalam pembangunan pada ranah
rumah tangga, ekonomi dan komunitas
-pengakuan bahwa perempuan memiliki hak-hak dasar tapi juga kebutuhan
strategis
-penelitian pertanian dan SDA mulai mengakui peran lipat tiga dan
kebutuhan strategis perempuan dalam pembangunan
-perempuan mulai dilihat sebagai korban pembangunan
|
Anti Kemiskinan
1970an
|
-untuk meningkatakan produktifitas perempuan miskin
-pengentasan kemiskinan melalui peningkatan produksi
|
Proyek-2 WID berubah fokus pada proyek-2 income generating (IGA) skala kecil, proyek-2 kerajinan tangan
adalah tipikal “proyek perempuan”
|
-Prioritas utama pada kerentanan dan marginalisasi ekonomi perempuan
-penelitian-2 pertanian dan pembangunan mulai konsentrasi pada IGA
perempuan tapi belum melihat kepentingan strategis perempuan
|
Effisiensi
1980an
|
-mengentaskan kemiskinan dengan meningkatkan efisiensi dalam penelitian
dan pembangunan
-meningkatkan partisipasi perempuan dalam penelitian dan pembangunan
|
-Proyek-2 WID berfokus pada proyek-2 sektoral seperti perempuan dan
kehutanan, perempuan dan perikanan dsb.
-proyek-2 pembangunan masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar
perempuan
-beberapa proyek mulai mengadopsi perspektif gender ketimbang berbicara
semata tentang perempuan
|
-Perempuan diakui produktif dalam pertanian dan management SDA.
-perempuan dilihat sebagai solusi terhadap pembangunan; waktu mereka
dilihat sebagai elastis
-relasi gender sebagai relasi kuasa belum dikenali
-Pengarusutamaan isu perempuan dan gender dalam pembangunan untuk
efisiensi sumber daya proyek
|
Pemberdayaan
Akhir 1980an
|
-pemberdayaan perempuan melalui hak yang lebih besar untuk menentukan
nasip sendiri
-sub-ordinasi sebagai akibat dari penindasan laki-2 tapi juga sistim yang
meninda laki-2 terlebih perempuan
|
Gender dan pembangunan (GAD-gender and development) berfokus pada
kebutuhan dasar dan strategis dan kerap dipisahkan.
|
-pengakuan bahwa walaupun fokus pada peran perempuan adalah penting,
namun relasi dengan laki-2 dan seluruh sistim politik dan ekonomi adalah
sangat penting
-Perempuan sebagai agen pembangunan dan agenda kolektif perempuan adalah
penting
-Perlu dikaji ulang penelitian dan pembangunan
|
III.
Longwe
Framework – Kerangka Kerja ”Pemberdayaan”
Kerangka Longwe
berfokus langsung pada penciptaan situasi/pengkondisian di mana masalah
kesenjangan, diskriminasi dan subordinasi diselesaikan. Longwe menciptakan
jalan untuk mencapai tingkat pemberdayaan dan kesederajatan (equality) di mana ditunjukan bahwa
pemenuhan kebutuhan dasar-praktis perempuan tidak pernah sama dengan,
pemberdayaan maupun sederajat (equal).
Pengambilan keputusan (kontrol) merupakan puncak dari pemberdayaan dan
kesederajatan (equality). Table 4
memberikan gambaran jelas mengenai hal ini.
Dalam assessment
proyek, kerangka Longwe bisa diturunkan menjadi dua alat:
1.
Level
kesederajatan (Equality level)
Tujuan utama alat ini adalah untuk menilai apakah sebuah proyek/program
intervensi pembangunan mampu mempromosikan kesederajatan dan pemberdayaan
perempuan atau tidak.
Asumsi dasar dibalik alat ini adalah bahwa titik tercapainya kesederajatan
(equality) antara perempuan dan laki-laki mengindikasikan level pemberdayaan
perempuan. Ada lima level dalam aras kesederajatan dan pemberdayaan yang perlu
dicermati:
Bentuk ini, menurut saya, seolah mengikuti alur pikirnya Abraham Maslow
tentang teori hierarki of human needs, dengan meletakan kebutuhan
dasar-praktikal pada titik yang paling bawah dan kebutuhan ”aktualisasi diri”
sebagai kebutuhan tertinggi diterjemahkan sebagai ”kontrol dan decision
making”. Tentunya, ilustrasi ini memiliki kelemahan dan terkesan dipaksakan.
Tabel 6. Level kesederajatan dan pemberdayaan
|
Equality
|
Pemberdayaan
|
||
Perempuan
|
Laki-laki
|
perempuan
|
Laki-laki
|
|
Kontrol
(decision Making)
|
|
|
|
|
Partisipasi
|
||||
Kesadaran
Kritis (conscienticicao)
|
||||
Akses
|
||||
Welfare
(kebutuhan dasar-praktis)
|
Anak panah di atas menunjukan arah peningkatan menuju pemberdayaan dan
equality.
2.
Isu
Spesifik Perempuan – dengan tujuan pada pengenalan akan kebutuhan spesifik
perempuan.
Asumsi utamanya adalah bahwa semua isu perempuan berkaitan dengan equality
dalm peran sosial dan ekonomis. Tiga level pengenalan atas isu perempuan di dalam proyek adalah NEGATIF,
NETRAL & POSITIF.
IV.
Kerangka
Analisis ”Relasi Sosial”
Kerangka “relasi social” ini
awalnya dikemukakan oleh Naila Kabeer yang sebelumnya adalah pengajar pada Institute
of Development Studies, Sussex, UK. (Lihat Reversed Realities: Gender
Hierarchies in Development, Verso, 1994). Tujuan dari kerangka ini adalah untuk:
·
Menganalisis
ketimpangan gender yang ada di dalam distribusi sumber daya, tanggung jawab dan
kekuasaan.
·
Menganalisis
relasi antara orang, relasi mereka dengan sumber daya, aktifitas dan bagaimana
posisi mereka melailui lensa kelembagaan.
·
Menekankan
kesejahteraan manusia (human well-being) sebagai tujuan utama dalam
pembangunan
Kerangka ini
didasarkan pad aide bahwa tujuan pembangunan adalah pada kesejahteraan manusia
(human well-being), yang terdiri atas survival, security dan otonomi. Produksi
dilihat bukan hanya relasinya terhadap pasar, tetapi juga reproduksi tenaga
kerja, kegiatan subsistent, dan kepedulian lingkungan hidup. Kemiskinan dilihat sebagai relasi social yang tidak seimbang, yang dihasilkan oleh ketidak seimbangan distrubusi sumber daya, klaim, dan tanggun jawab. Relasi gender adalah salah satu tipe relasi social. Relasi social bukanlah sesuatu yang kaku dan kekal. Mereka dapat dan berubah melalui faktor-faktor seperti perubahan makro atau agen manusia. Relasi social termasuk sumber daya yang dimiliki orang. Perempuan miskin kerap dikeluarkan dari akses dan kempemilikan atas sumber daya dan bergantung pada hubungan patron dan ketergantungan. Pembangunan dapat menolong si miskin untuk membangun solidaritas, reciprocity and otomomi dalam akses terhadap sumber daya
Kelembagaaan menjamin produksi, memperkuat dan reproduksi relasi social, dank arena itu perbedaan social dan kesenjangan. Ketimpangan gender di reproduksi bukan hanay di level KK, tapi melalui sekelompok kelembaggaan termasuk komunitas internasional, negara dan pasar. Kelembagaan didefinisikan sebagai kerangka yang nyata atas aturan main organsasi sebagai bentuk structural khusus
Oleh karena itu
analisis gender mengandung pengertian atau pemahaman untuk melihat pada
bagaimana kelembagaan menciptakan dan mereproduksi ketidak seimbangan dan
ketimpangan. Ada
empat ranah kelembaggan utama yakni negara, pasar, komunitas dan keluarga.
Table 7. Ranah
Kelembagaan
Ranah
Kelembagaan
|
Bentuk organisasi/struktur
|
Negara
|
Lembaga hukum, administrasi, militer, GAM
dsb
|
Pasar
|
Perusaan, tukang kredit, industri
pertanian, multi nasionanl dsb.,
|
Komunitas
|
Lembaga nonformal gampong, organisasi
desa, PKK, jaringan informal, relasi patron-client,
NGOs, panglima Laot dsb.
|
Keluarga-kekerabatan
|
Rumah tangga, garis keturunan, keluarga
household, extended families, lineage groupings
|
- Aturan (Rules), atau bagaimana aturan main yang terjadi; apakah memperkuat atau menghambat? Aturan tertulis atau tidak (informal)
- Aktifitas (Activities), yakni siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, siapa berhak mengklaim atas apa. Aktifitas bisa saja yang bersifat produktif, regulative, dan distributive.
- Sumber daya, yakni yang yang digunakan, apa yang diproduksikan, termasuk input sdm (tenaga kerja, pendidikan), material (pangan, capital aset, dan sebagainya), ataupun yang tidak kelihatan seperti kehendak baik, informasi dan jaringan.
- Orang (People), yakni siapa yang terlibat, siapa yang pergi, siapa melakukan apa? Kelembagaan relative selektif dalam masukan atau mengeluarkan orang, menugaskan mereka pada sumber daya dan tanggung jawab, memposisikan mereka dalam hierarkis dsb.
- Kekuatan (Power), yakni siapa mengontrol, memutuskan dan kepentingan siapa yang dilayani.
Analisis kelembagaan ini menyingkapkan beta
gender dan berbagai jenis kesenjangan/ketimpangan diproduksi dan direproduksi
ulang.
Gender-blind (Buta gender)
- Tidak membedakan perbedaan perempuan dan laki-laki
- Terjebak ‘built in”
- Cenderung mengeluarkan perempuan
Sadar gender (Gender-aware)
- Mengenali perbedaan antara prioritas
dan kebutuhan perempuan dan laki-laki
Tabel 8.
Kebijakan sensitive gender ada tiga jenis:
gender-neutral
|
· dalam terang perbedaan gender, targeting
layanan kebutuhan praktis perempuan
dan laki-laki
· Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian
kerja atas sumber daya dan tanggung jawab berbasi gender
|
gender-specific
|
· dalam terang perbedaan gender, merespon
kebutuhan praktis perempuan dan laki-laki secara spesifik
· Bekerja dalam kondisi yang ada untuk
pembagian kerja atas sumber daya dan tanggung jawab berbasis gender
|
gender
redistributive
|
· Dimaksudkan untuk transformasi relasi
gender yang ada untuk menciptakan keseimbagan relasi.
· Menargetkan secara spesifik perempuan dan
laki-laki
· Bekerja untuk kebutuhan praktis gender secara
transformative
· Bekerja untuk kebutuhan
strategis gender
|
Kerangka analisisi relasi social menekankan pada akar masalah ketimpangan gender dengan memetakan secara jelas apa sebab langsung (immediate), faktor kontributif (underlying) dan yang bersifat structural.
Lihat table 7.
Table 7.
Analisis Akar Masalah Gender – Pada Berbagai |
|
Dampak jangka panjang
|
|
Dampak jangka menengah (Intermediate)/underlying
causes
|
|
Dampak Langsung (Immediate)
|
|
Masalah Utama
|
|
Dampak Langsung di level:
·
Rumah tangga
·
Komunitas
·
Pasar
·
Negara
|
|
Dampak jangka menengah
(Intermediate)/underlying causes
·
Rumah tangga
·
Komunitas
·
Pasar
·
Negara
|
|
·
Rumah tangga
·
Komunitas
·
Pasar
·
Negara
|
|
- Melihat kemiskinan bukan semata sebagai deprivasi material tetapi pada marginalisasi social
- Mengkonsepkan gender sebagai pusat dari pembangunan dan bukan terpisah
- Menghubungkan analisis makro dan mikro.
- Membuat interaksi antara berbagai bentuk kesenjangan berbasis kelas, gender dan ras
- Memusatkan analisis pada kelembangaan dan
memberikan inspirasi pada aspek politik kelembagaan.
- Dinamis karena berupaya membongkar proses-proses pemiskinan dan pemberdayaan
- Bisa digunakan pada proyek level ataupun perencanaan kebijakan pada berbagai level.
·
Karena
lebih kompleks, analisis gender jadi bisa tenggelam dalam konteks yang lebih
luas.
V. Selected Referensi
V. Selected Referensi
WHO (2002) Gender Gender analysis in health: A Review of Selected Tools.
March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis
Frameworks, Oxford :
Oxfam. 2.
March C. (1996) A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender
Analysis and Planning. Oxford , oxfam uk/Ireland,
1996.
Miller C.
and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website http://www.undp.org/gender
Kabeer, N. (1994) Reversed
Realities: Gender Hierarchies in Development 1994
Sumber-sumber di Internet:
Eldis
Bridge
Genie
Siyanda
UNDP
ILO
DFID GEM
[1] Paper ini ditujukan
tidak terbatas pada mitra-mitra Hivos, tetapi bagi semua pihak yang merasa
membutuhkan untuk mengarusutamakan Gender dalam perencanaan proyek-proyek
rehabilitasi di Aceh. Paper ini disarikan
dari berbagai sumber-sumber berbahasa Inggris yang dipakai Penulis yakni: 1. March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide
to Gender Analysis Frameworks, Oxford : Oxfam. 2. March C. A Tool Kit: Concepts and Frameworks for
Gender Analysis and Planning. Oxford ,
oxfam uk/Ireland, 1996. 3. Bahan Kulian Gender & Rural Livelihood, Fall
Term 2004, The University of East Anglia , UK .
[2] Saat ini bekerja sebagai Coordinator Program, HIVOS.
[3] Untuk mengetahui lebih jauh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah berkunjung di blog ini ^_^